NarasiPublik - Suara gamelan modern berpadu dengan hentakan kaki para penari muda di aula SMP Negeri 1 Palu. Di depan mereka, deretan sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terpajang rapi di meja tamu kehormatan. Hari itu bukan hari biasa — karena karya mereka, hasil latihan berbulan-bulan, akhirnya diakui secara hukum oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Tengah (Kanwil Kemenkum Sulteng).
Tepuk tangan pun membahana ketika nama-nama tarian dipanggil satu per satu: Tari Reboisasi, Vunja, Sompula To Kaili, Mompajoka Torata, dan Lebaran Mandura. Lima karya ini lahir dari kolaborasi antara guru seni dan siswa yang mencintai budaya lokal.
“Anak-anak kami belajar bahwa budaya bukan hanya untuk ditampilkan, tapi juga dilindungi,” tutur Yusri, Kepala Sekolah SMPN 1 Palu, dengan nada bangga. Ia mengaku, proses menciptakan tarian tersebut bukan sekadar latihan fisik, tapi juga perjalanan spiritual mengenal akar budaya dan makna hukum yang melindunginya.
Dari sisi pemerintah, apresiasi datang langsung dari Kakanwil Kemenkum Sulteng, Rakhmat Renaldy, yang menilai langkah ini selaras dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda.
“Wujud semangat pemuda hari ini adalah karya. Mereka tidak hanya bangga pada budaya, tapi juga sadar bahwa melindungi karya adalah bentuk cinta tanah air,” ungkapnya.
Bagi para siswa, pencatatan HKI ini menjadi bukti bahwa karya mereka diakui negara. Lebih dari itu, mereka merasa menjadi bagian dari sejarah baru: generasi muda Palu yang menari untuk menjaga marwah budaya dan hukum.
Salah satu siswa, Syafira Dwi Halimu, mengaku bangga sekaligus terharu. “Rasanya luar biasa. Tarian kami tidak hanya tampil di panggung, tapi juga tercatat sebagai karya yang sah,” ujarnya sambil tersenyum.
Momentum itu menjelma menjadi pelajaran hidup: bahwa cinta budaya dan kesadaran hukum bisa menari bersama di panggung yang sama.
